Kamis, 31 Oktober 2013

Kisah Sang Juara Kelas yang Tak Naik Kelas

13391353741610184496

Kamis kemarin seharusnya jadwal saya berada di rumah, namun mengingat banyaknya kerjaan kantor maka hari itu saya masuk kerja. Hari libur yang seharusnya saya gunakan untuk menemani putra saya, Danish (8) yang saat ini sedang mengikuti Ujian Kenaikan Kelas (UKK) terpaksa saya abaikan. Inilah yang membuat saya bersungut-sungut saat ‘ngantor’ kemarin.
Rekan kerja saya, Zaid hanya mesam-mesem melihat saya yang setengah hati bekerja. Ia tahu kalau saya gelisah karena kepikiran putra saya. Ia katakan jangan terlalu ngoyo menjalani hidup. Santai saja, jangan stress apalagi dalam pola pengasuhan anak.
Kemudian Zaid banyak bercerita tentang gayanya mendidik putra-putrinya. Zaid telah memiliki 4 orang anak. Putrinya yang pertama kini sedang kuliah di sebuah PTS di Jakarta. Anaknya yang ketiga pernah juga 3 bulan tidak masuk sekolah. What? 3 bulan? Tanya saya. Ia tertawa. Iya 3 bulan. Rupanya si anak selama 3 bulan itu merasa jenuh sekolah. Ia malah asik ‘nongkrong’ di Warnet main game-online. Anehnya si anak tetap naik kelas! Wew!
Zaid juga bercerita tentang anak sahabatnya, sebut saja namanya Satria. Satria dibesarkan dari lingkungan keluarga yang super disiplin. Orang tua Satria sejak kecil menggembleng Satria dengan berbagai pendidikan. Baik di sekolah maupun pendidikan di luar sekolah. Ayah bundanya ingin agar Satria menjadi anak kebanggaan mereka. Meraih predikat juara kelas.
Obsesi ayahbundanya terwujud. Saat di bangku SD hingga SMP, Satria tumbuh menjadi anak dengan skill dan nilai yang cemerlang. Berbagai les/kursus yang diikutinya di luar sekolah mengantarkan Satria menjadi sang jawara kelas. Ia selalu mendapat peringkat pertama. Setidaknya selama ia di SD hingga SMP, 3 besar selalu ia raih.
Namun apa yang terjadi saat Satria duduk di bangku SMA? Siapa sangka anak kebanggaan itu mendadak berubah drastis! Apa yang terjadi dengan Satria? Saat ia kelas 2 SMA, ternyata Satria tidak naik kelas! Betapa shock-nya hati orang tuanya. Siapa mengira putra kesayangan mereka yang selama ini bersinar dan menjadi bintang kelas ternyata tinggal kelas alias tidak naik kelas.
Mendengar kisah Satria, saya tertegun. Kemudian saya bertanya kepada Zaid, apa yang menyebabkan Satria tidak naik kelas? Zaid bilang, ternyata selama ini Satria tak pernah menikmati gelar juaranya. Ia mulai jenuh karena kesehariannya hanya berkutat dengan buku-buku pelajaran. Begitu pula di luar sekolah, kepalanya serasa mau pecah karena terus-menerus belajar dan belajar demi mengejar nilai dan meraih gelar sang juara.
Melihat kenyataan itu, orang tua Satria baru terbuka mata hatinya. Ternyata selama ini niatnya membentuk Satria menjadi sang juara berdampak kepada psikologis Satria. Mereka yang selama ini ‘mencekoki’ satria dengan beragam les/kursus/bimbel telah merenggut masa kecil seorang anak.
Keinginan satria semasa kecil yang ingin bermain dengan teman-temannya justru harus ia lalui dengan aneka pelajaran. Bahkan guru privat pun tak segan didatangkan ke rumah untuk mengajari Satria. Nyaris Satria tak memiliki waktu bermain. Hal inilah yang membuat Satria yang beranjak remaja mulai menunjukan ‘taringnya’. Ia tumbuh menjadi pribadi berbeda dengan saat kecil dulu. Satria kecil sang juara kini berubah menjadi remaja pembangkang! Satria jenuh dan bosan dengan gelar sang juara yang selalu diraihnya.
Zaid pernah bertanya kepada sahabatnya, apa yang membuat Satria tak naik kelas? Apakah pelajaran SMA yang terlalu sulit? Ataukah Satria sering bolos sekolah seperti putra Zaid yang ketiga itu? Ia bilang, Satria memang sengaja tidak mau belajar. Saat ulangan atau Ujian, dia menjawab semua soal asal-asalan saja! Waduh! Jelas saja nilainya selalu ‘jeblok’! Akibatnya, Satria harus mengulangi pelajarannya di kelas 2.
Dari kisah Satria itu, saya baru menyadari bahwa ternyata obsesi orang tua yang mendambakan anak mereka tumbuh menjadi anak yang super cerdas dengan meraih juara tak serta merta membuat buah hati mereka menikmati gelar juaranya. Seringkali kita para orang tua memaksakan kehendak kita pada anak. Anak harus ikut les ini, kursus itu atau bimbel demi bisa membantunya belajar.
Tanpa kita sadari, kita telah merenggut kegembiraan masa anak-anak, di mana dunianya tak lepas dari bermain dan bersosialisasi dengan lingkungan sekitarnya. Bahkan banyak juga orang tua otoriter yang mendidik dengan keras anak-anak mereka agar patuh pada aturan orang tua. Memang tak salah bila niat orang tua menggembleng anak dengan membekali mereka berbagai ilmu pendidikan. Namun sejatinya, hal itu harus diimbangi dengan cara tidak merampas hak anak untuk menikmati dunia bermainnya.
Hal ini sungguh menjadi pembelajaran bagi saya yang saat ini begitu ketat dalam mendidik putra saya. Namun demikian, selama ini saya tetap memberi kebebasan Danish untuk bermain bersama teman-temannya. Disiplin sejak dini yang saya terapkan semata-mata hanya ingin mengajarkan Danish bagaimana ia harus belajar bertanggung jawab dalam membagi waktunya. Kapan ia harus belajar dan kapan ia boleh bermain.
Mungkin yang terjadi pada Satria, orang tuanya tak pernah mendengarkan apa keinginan Satria. Betapa inginnya Satria menikmati dunianya sebagai seorang anak. Hal ini mungkin yang terlupakan oleh orang tua Satria. Seharusnya, orang tua Satria bisa menjadi sahabat bagi buah hatinya, mendengarkan apapun keluhan anaknya. Sangat disayangkan, anak secerdas Satria harus kehilangan masa kecilnya yang seharusnya ia nikmati dengan suka cita dan penuh kegembiraan.
Benarkah semata-mata hanya jenuh yang menyebabkan Satria berubah drastis? Sangat mungkin kejenuhan Satria tersebut terakumulasi sejak kecil ia hanya bergaul dengan buku. Akibatnya saat beranjak remaja, matanya baru terbuka betapa nikmatnya bermain bersama teman-temannya. Inilah yang paling dikhawatirkan. Lingkungan barunya itu akan membentuk Satria menjadi sosok lain bagi orang tuanya.
Semoga kita para orang tua bisa mengambil hikmah dari kisah Satria ini.



Sumber : edukasi.kompasiana.com

0 komentar:

Posting Komentar