Kamis kemarin seharusnya jadwal saya
berada di rumah, namun mengingat banyaknya kerjaan kantor maka hari itu
saya masuk kerja. Hari libur yang seharusnya saya gunakan untuk menemani
putra saya, Danish (8) yang saat ini sedang mengikuti Ujian Kenaikan
Kelas (UKK) terpaksa saya abaikan. Inilah yang membuat saya
bersungut-sungut saat ‘ngantor’ kemarin.
Rekan kerja saya, Zaid hanya mesam-mesem
melihat saya yang setengah hati bekerja. Ia tahu kalau saya gelisah
karena kepikiran putra saya. Ia katakan jangan terlalu ngoyo menjalani
hidup. Santai saja, jangan stress apalagi dalam pola pengasuhan anak.
Kemudian Zaid banyak bercerita tentang
gayanya mendidik putra-putrinya. Zaid telah memiliki 4 orang anak.
Putrinya yang pertama kini sedang kuliah di sebuah PTS di Jakarta.
Anaknya yang ketiga pernah juga 3 bulan tidak masuk sekolah. What? 3
bulan? Tanya saya. Ia tertawa. Iya 3 bulan. Rupanya si anak selama 3
bulan itu merasa jenuh sekolah. Ia malah asik ‘nongkrong’ di Warnet main
game-online. Anehnya si anak tetap naik kelas! Wew!
Zaid juga bercerita tentang anak
sahabatnya, sebut saja namanya Satria. Satria dibesarkan dari lingkungan
keluarga yang super disiplin. Orang tua Satria sejak kecil menggembleng
Satria dengan berbagai pendidikan. Baik di sekolah maupun pendidikan di
luar sekolah. Ayah bundanya ingin agar Satria menjadi anak kebanggaan
mereka. Meraih predikat juara kelas.
Obsesi ayahbundanya terwujud. Saat di
bangku SD hingga SMP, Satria tumbuh menjadi anak dengan skill dan nilai
yang cemerlang. Berbagai les/kursus yang diikutinya di luar sekolah
mengantarkan Satria menjadi sang jawara kelas. Ia selalu mendapat
peringkat pertama. Setidaknya selama ia di SD hingga SMP, 3 besar selalu
ia raih.
Namun apa yang terjadi saat Satria duduk
di bangku SMA? Siapa sangka anak kebanggaan itu mendadak berubah
drastis! Apa yang terjadi dengan Satria? Saat ia kelas 2 SMA, ternyata
Satria tidak naik kelas! Betapa shock-nya hati orang tuanya. Siapa
mengira putra kesayangan mereka yang selama ini bersinar dan menjadi
bintang kelas ternyata tinggal kelas alias tidak naik kelas.
Mendengar kisah Satria, saya tertegun.
Kemudian saya bertanya kepada Zaid, apa yang menyebabkan Satria tidak
naik kelas? Zaid bilang, ternyata selama ini Satria tak pernah menikmati
gelar juaranya. Ia mulai jenuh karena kesehariannya hanya berkutat
dengan buku-buku pelajaran. Begitu pula di luar sekolah, kepalanya
serasa mau pecah karena terus-menerus belajar dan belajar demi mengejar
nilai dan meraih gelar sang juara.
Melihat kenyataan itu, orang tua Satria
baru terbuka mata hatinya. Ternyata selama ini niatnya membentuk Satria
menjadi sang juara berdampak kepada psikologis Satria. Mereka yang
selama ini ‘mencekoki’ satria dengan beragam les/kursus/bimbel telah
merenggut masa kecil seorang anak.
Keinginan satria semasa kecil yang ingin
bermain dengan teman-temannya justru harus ia lalui dengan aneka
pelajaran. Bahkan guru privat pun tak segan didatangkan ke rumah untuk
mengajari Satria. Nyaris Satria tak memiliki waktu bermain. Hal inilah
yang membuat Satria yang beranjak remaja mulai menunjukan ‘taringnya’.
Ia tumbuh menjadi pribadi berbeda dengan saat kecil dulu. Satria kecil
sang juara kini berubah menjadi remaja pembangkang! Satria jenuh dan
bosan dengan gelar sang juara yang selalu diraihnya.
Zaid pernah bertanya kepada sahabatnya,
apa yang membuat Satria tak naik kelas? Apakah pelajaran SMA yang
terlalu sulit? Ataukah Satria sering bolos sekolah seperti putra Zaid
yang ketiga itu? Ia bilang, Satria memang sengaja tidak mau belajar.
Saat ulangan atau Ujian, dia menjawab semua soal asal-asalan saja!
Waduh! Jelas saja nilainya selalu ‘jeblok’! Akibatnya, Satria harus
mengulangi pelajarannya di kelas 2.
Dari kisah Satria itu, saya baru
menyadari bahwa ternyata obsesi orang tua yang mendambakan anak mereka
tumbuh menjadi anak yang super cerdas dengan meraih juara tak serta
merta membuat buah hati mereka menikmati gelar juaranya. Seringkali kita
para orang tua memaksakan kehendak kita pada anak. Anak harus ikut les
ini, kursus itu atau bimbel demi bisa membantunya belajar.
Tanpa kita sadari, kita telah merenggut
kegembiraan masa anak-anak, di mana dunianya tak lepas dari bermain dan
bersosialisasi dengan lingkungan sekitarnya. Bahkan banyak juga orang
tua otoriter yang mendidik dengan keras anak-anak mereka agar patuh pada
aturan orang tua. Memang tak salah bila niat orang tua menggembleng
anak dengan membekali mereka berbagai ilmu pendidikan. Namun sejatinya,
hal itu harus diimbangi dengan cara tidak merampas hak anak untuk
menikmati dunia bermainnya.
Hal ini sungguh menjadi pembelajaran
bagi saya yang saat ini begitu ketat dalam mendidik putra saya. Namun
demikian, selama ini saya tetap memberi kebebasan Danish untuk bermain
bersama teman-temannya. Disiplin sejak dini yang saya terapkan
semata-mata hanya ingin mengajarkan Danish bagaimana ia harus belajar
bertanggung jawab dalam membagi waktunya. Kapan ia harus belajar dan
kapan ia boleh bermain.
Mungkin yang terjadi pada Satria, orang
tuanya tak pernah mendengarkan apa keinginan Satria. Betapa inginnya
Satria menikmati dunianya sebagai seorang anak. Hal ini mungkin yang
terlupakan oleh orang tua Satria. Seharusnya, orang tua Satria bisa
menjadi sahabat bagi buah hatinya, mendengarkan apapun keluhan anaknya.
Sangat disayangkan, anak secerdas Satria harus kehilangan masa kecilnya
yang seharusnya ia nikmati dengan suka cita dan penuh kegembiraan.
Benarkah semata-mata hanya jenuh yang
menyebabkan Satria berubah drastis? Sangat mungkin kejenuhan Satria
tersebut terakumulasi sejak kecil ia hanya bergaul dengan buku.
Akibatnya saat beranjak remaja, matanya baru terbuka betapa nikmatnya
bermain bersama teman-temannya. Inilah yang paling dikhawatirkan.
Lingkungan barunya itu akan membentuk Satria menjadi sosok lain bagi
orang tuanya.
Semoga kita para orang tua bisa mengambil hikmah dari kisah Satria ini.
Sumber : edukasi.kompasiana.com





